Rabu, 09 Maret 2011

Skala Ekonomis, Persaingan tidak Sempurna dan Perdagangan Internasional

Skala Ekonomis, Persaingan tidak Sempurna dan Perdagangan Internasional

6.1  PENDAHULUAN

Perdagangan kerapkali menciptakan pihak-pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan. Pengertian ini sangat penting untuk diresapi jika kita berkeinginan memahami latar belakang apa sebenarnya yang menentukan kebijakan perdagangan perdagangan dari suatu negara dalam lingkungan perekonomian dunia modern. Ada dua cara untuk meninjau kebijakan perdagangan (atau kebijakan pemerintah). Yakni, yang pertama, dengan mendasarkan penbahasan pada tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai melalui penerapan kebijakan perdagangan. Contoh, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah? Apakah yang dimaksud dengan kebijakan perdagangan yang optimal? Cara yang kedua adalah langsung menyoroti langkah-langka yang ditempuh oleh pemerintah dari dari berbagai Negara dalam praktek memberlakukan kebijakan perdagangan ini. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan merupakan suatu hal penting dalam meninjau persoalan dengan cara pertama, dan bahkan lebih penting lagi untuk cara kedua.
            Pada dasarnya terdapat tiga alasan pokok mengapa kalangan ekonom pada umumnya tidak terlalu menekankan perhatian mereka pada dampak distribusi pendapatan dari perdagangan.
1)      Dampak distribusi pendapatan bukan persoalan khas (hanya ada pada) perdagangan internasional. Setiap perubahan di dalam perekonomian nasional, termasuk perubahan yang terjadi sehubungan dengan adanya suatu kemajuan teknologi, cenderung menggeser prefensi konsumen, tergantikannya sumber-sumber daya yang lama dengan yang baru, dan sebagainya, senantiasa memberikan dampak terhadap kondisi ditribusi pendapatan dalam masyarakat yang bersangkutan.
2)      Apapun kelemahannya, selalu akan lebih baikjika perdagangan dimungkinkan berlangsung secara benar-benar bebas (perkara hal itu akan merugikan pihak-pihak yang lemah, lagipula ada banyak cara untuk membantu mereka serta mengkompensasikan kerugiannya). Meskipun tidak mudah dan murah, langkah seperti ini masih lebih baik daripada tindakan melarang atau menghalang-halangi berlangsungnya perdagangan.(ini berlaku juga untuk bentu-bentuk lain dari perubahan ekonoomi).
3)      Pihak–pihak yang mengalami kerugian dari peningkatan hubungan perdagangan biasanya lebih terorganisir dibandingkan dengan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari perdagangan. Ketidakseimbangan ini acapkali menciptakan suatu bias dalam proses politik sehingga memelukan langkah-langkah pengimbang.
Dengan demikian, sebenarnya meskipun mereka mengakui adanya dampak negatif  yang ditimbulkan oleh perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan, sebagian besar ekonom tetap meyakini bahwa lebih penting untuk menonjolkan keuntungan potensial dari perdagangan daripada persoalan daripada mempermasalahkan kemunginan kerugian dari sementara kelompok di dalam suatu negara. Sikap ini perlu diperhatikan karna para ekonom situ tidak jarang memiliki kekuatan suara dalam memutuskan kebijakan ekonomi, khususnya kala pertentangan kepentingan terus menerus berkecamuk dengan sengitnya.
Biasanya kelompok-kelompk ysng memperoleh keuntungan dari perdagangan untuk produk-produk tertentu adalah kelompok yang kurang terkonsentrasi, kurang terdidik secara politik dan juga kurang teroranisir bila dibandingkan dengan pihak-pihak yang menderita kerugian akibat perdagangan.
Sebuah contoh yang baik mengenai adanya perbedaan yang mencolok antara kedua kubu tersebut adalah di industry gula di Amerika Serikat. Pemerintah AS terlalu membatasi impor gula selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, harga gula di pasaran domestik AS kira-kira empat kali lipat dari harga yang berlaku di pasaran dunia. Banyak perkiraan menunjukkan, biaya yang dibebankan kepada konsumen barang kebutuhan pokok yang impornya dibatasi sejak permulaan decade 1970-an ini mencapai lebih dari satu milyar Dola pertahun – atau sekitar 5 Dolar per orang; baik itu laki-laki maupun perempuan dewasa maupun anak-anak penggemar gula-gula. Akan tetapi, jumlah keuntungan (rente kuota) yang diterima oleh para produsen gula domestik ternyata lebih kecil, yakni kurang dari separuh nilai kerugiannya itu.

6.2 Model Heckscher-Ohlin dan Teori-teori Perdagangan

Teori heckscher-ohlin yang sampai sekarang masih diakui sebagai salah satu teori fundamental dalam ilmu ekonomi internasional. Asumsi pertamannya adalah menlonggarkan teori perdagangan yang dipelajari di bab sebelumnya. Yakni bahwa didunia ini hanya ada dua Negara, dua komoditi, dan dua factor produksi – agar kita memperluas pembahasan dengan mencakup lebih dari dua Negara, lebih dua komoditi dan lebih dari dua factor produksi. Asumsi kedua dari teori ini yakni kedua Negara memiliki tingkat teknologi produksi yang sama – sebenarnya memang harus dilakukan mengingat asumsi itu sendiri, sama halnya dengan asumsi pertama, kurang logis karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tingkat teknologi yang dimiliki dan digunakan oleh masing-masing Negara berbeda-beda. Namun teknologi itu sendiri dapat dianggap sebagai salah satu jenis factor produksi sehingga perdagangan yang didasarkan pada variasi tingkat teknologi antarnegara masih dapat dianggap tercakup. Asumsi ketiga, yakni bahwa komoditi X merupakan sebuah komoditi padat L atau padat tenaga kerja, sedangkan Y adalah komoditi padat K atau padat modal mengisyaratkan bahwa perubahan intensitas factor dalam masing-masing komoditi tidak memungkinkan. Asumsi keempat bahwa skala hasil senatiasa konstan. Padahal, dalam kenyataannya perdagangan internasional antara lain terjadi atas skala hasil yang meningkat. Namun konsep skala hasil yang meningkat itu dapat dipandang sebagai aspek komplementer atau penunjang bagi teori hackscher-ohlin. Asumsi kelima dalam model ini adalah adanya spesialisasi yang tidak menyeluruh dimasing-masing Negara. Seandainya saja perdagangan dapat menyempurnakan spesialisasi produksi di salah satu Negara, maka dengan sendirinya harga-harga relative komoditi di kedua Negara tersebut akan sama, namun harga factor produksi akan tetap berbeda. Asumsi keenam mengenai keseragaman selera agaknya akan sulit dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya selera tentu saja bervariasi sehingga dari sebuah Negara kita dapat menemukan begitu banyak selera tergantung pada kesediaan fisik factor-faktor produksi yang selanjutnya juga dapat dikemukakan untuk menjelaskan berbedanya harga relative komoditi antarnegara yang menjadi landasan berlangsungnya perdagangan antar Negara. Asumsi ketujuh mengenai persaingan sempurna di semua pasar produk dan pasar factor produksi nampaknya lebih sulit dilakukan. Dalam kenyataannya sekitar separuh dari seluruh transaksi perdagangan manufaktur di antara Negara-negara industry maju didasarkan pada diferensiasi  produk dan skala ekomonis. Selajutnya asumsi kedelapan mengenai ketiadaan mobilitas factor produksi internasional masih dapat kita lakukan tanpa menggangu keberlakuan atau keabsahan model ini. Jika adanya mobilitas factor produksi internasional, meskipun tidak sempurna, maka volume perdagangan yang dibutuhkan untuk menyamakan harga-harga komoditi dan factor produksi di semua Negara akan lebih kecil. Artinya denga relative sedikit hubungan perdagangan, proses penyamaan harga komoditi dan factor produksi antar satu Negara dengan Negara lain sudah dapat berlangsung. Sedangkan asumsi kesembilan, yakni mengenai ketiadaaan biaya transportasi dan hambatan-hambatan arus perdagangan dalam bentuk apa pun memang harus ditinggalkan karena sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, adanya biaya transportasi dan berbagai bentuk hambatan/restriksi itu telah terbukti telah menyusutkan volume perdagangan internasional dan memperkecil keuntungan-keuntungan yang akan dibuahkan. Penghapusan asumsi ini hanya akan sedikit memodifikasi teorema heckscher-ohlin tanpa meruntuhkan keberlakuannya. Dan asumsi kesepuluh, yakni dengan menganggap segenap sumber daya yang tersedia tidak terkerahkan secara penuh, sehingga pemanfaatan keunggulan komparatif tidak sesempurna yang digambarkan oleh teori tersebut. Pelonggaran asumsi kesebelas yakni mengatakan bahwa perdagangan internasional senatiasa berjalan seimbang (artinya masing-masing Negara akan mengekspor sebanyak impornya) akan membawa kita pada kenyataan bahwa suatu Negara selalu menghadapi kemungkinan mengalami deficit perdagangan. Bahkan ada kalanya suatu Negara mengimpor komoditi yang keunggulan komparatifnya lebih ia kuasai.
Sebagai rangkuman kita dapat menyimpulkan bahwa asumsi pelonggaran tersebut adalah sebagian besar asumsi dasar teori heckscher-ohlin hanya dimodifikasi tanpa menganggu keberlakuanya. Jika ingin memahami terjadinya perdagangan internasional yang didasarkan pada selisih perubahan atau kemajuan teknologi yang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai Negara, maka kita harus mencari teori perdagangan yang baru karena teori ini tidak dapat menjelaskannya. Ada 2 alasan utama mengapa Negara-negara melakukan spesialisasi produksi dan terlibat dalam perdagangan internasional. Alasan pertama, Negara-negara itu berbeda-beda satu sama lain, baik sumber daya yang masing-masing mereka punya maupun dalam tingkat penguasaan teknologi  dan mereka berspesialisasi dalam rangka memproduksi sesuatu dengan cara yang lebih baik. Alasan kedua, untuk menggapai skala ekonomis, atau prinsip hasil yang meningkat yang memungkinkan setiap Negara untuk meraih keuntungan melalui spesialisasi dalam produksi atas pada beberapa barang dan jasa saja.

6.3 Skala Ekonomis dan Perdagangan Internasional
            
Salah satu asumsi model Hecksher-Ohlin menyatakan bahwa kedua komoditi diproduksikan atas dasar skala hasil yang konstan di kedua negara. Perdagangan di antara dua negara yang faktor – faktor produksinya maupun komoditi andalannya yang identik tidak akan dapat dijelaskan melalui model Heckscher-Ohlin.
Dalam bab terdahulu, model–model keunggulan atau keunggulan komparatif yang telah disajikan senantiasa didasarkan pada asumsi atau prinsip “skala hasil yang konstan”. Artinya, kita dapat mengasumsikan bahwa jika input untuk suatu industri di lipatduakan, maka output industri tersebut juga akan berlipat dua. Namun dalam kenyataannya, banyak industri atau sektor ekonomi yang beroperasi atas dasar skala ekonomis, sehingga semakin besar skala produksinya, akan semakin besar pula produktivitasnya. Sebagai contoh sederhana, untuk memproduksi 10 unit produk, missalnya diperlukan 15 jam kerja, sedangkan untuk memproduksi 25 unit diperlukan 30 jam kerja. Adanya skala ekonomis dapat dilihat dari kenyataan bahwa dengan melipatduakan input tenaga kerja dari 15 menjadi 30 jam kerja menyebabkan output industri tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat, yakni dari 10 menjadi 25 unit. Dalam kenyataannya, dengan pelipatan input, output dapat meningkat dengan kelipatan 2,5. Demikian pula halnya, keberadaan skala ekonomis itu dapat dilihat dengan mengamati rata-rata jumlah tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan setiap unit output : jika output yang ada hanya 5 unit, maka rata-rata kebutuhan input tenaga kerja adalah 2 jam, sedangkan apabila outputnya 25 unit, maka kebutuhan rata-rata akan input tenaga kerjanya pun segera turun menjadi 1,2 jam. Dari contoh tersebut dapat dilihat mengapa skala ekonomis mampu memberikan ransangan tersendiri bagi berlangsungnya hubungan-hubungan internasional.
            Perdagangan memungkinkan setiap negara untuk menghasilkan dan memperoleh variasi barang yang terbatas serta meraih keunggulan skala ekonomis tanpa mengorbankan keragaman konsumsinya. Perdagangan internasional akan meningkatkan keragaman barang yang tersedia.
            Peradagangan yang saling menguntungkan bisa terus meningkat berkat bekerjanya prinsip skala ekonomis. Setiap negara mengkhususkan diri dalam memprokduksi barang barang tentu saja, yang memungkinkannya memproduksi barang -  barang tersebut lebih efisien daripada jika negara yang bersangkutan memproduksi sendiri segalanya, perekonomian yang melakukan spesialisasi produksi ini selanjutnya berdagang satu sama lain agar dapat menkonsumsi seluruh jenis barang.
            Pada dasarnya skala ekonomis atau pun skala hasil yang meningkat menandakan bahwa input yang dibutuhkan per unit produksi semakin kecil denagn semakin banyaknya output yang di produksi.
            Untuk menganalisis dampak skala ekonomis terhadap struktur pasar, kita memang mebutuhkan kejelasan tentang peningkatan produksi seperti apa yang diperlukan untuk menurunkan biaya rata rata. Skala ekonomis eksternal (external economies of scale) akan tercipta apabila jumlah biaya per unit sudah tergantung pada besarnya industri, tidak perlu besarnya satu perusahaan.
            Selanjutnya skala ekonomis internal (internal economies of scale) muncul jika biaya per unit tergantung pada  besarnya satu perusahaan, sehingga hal itu tidak perlu dikaitkan dengan besarnya industri yang bersangkutan. Perbedaan antara skala ekonomis eksternal dan skala ekonomis internalakan dapat dilukiskan dengan contoh hipotesis sebagai berikut.
            Suatu industri yang pada awalnya yang hanya terdiri dari 10 perusahaan, yang masing masing menghasilkan 100 unit output. Kini pertimbangkan dua kasus. Pertama, katakanlah ukuran industri tersebut, karena sesuatu dan lain sebab, berlipat dua, sehingga kini terdapat 20 perusahaan, yang masing-masing akan menghasilkan 100 unit output.
            Pada sisi lain, misalkan output dari industri yang bersangkutan tidak berubah, tetapi jumlah perusahaan susut separuh, sehingga setiap perusahaan akan menghasilkan 200 unit output. Jika dalam kasus in efisiensi mengalami peningkatan, maka terdapat skala ekonomis internal; suatu perusahaan lebih efisien jika outputnya lebih banyak.
            Skala ekonomis eksternal dan internal tersebut masing - masing menimbulkan implikasi-implikasi berbeda terhadap struktur industri. Suatu industri dimana skala ekonomisnya sepenuhnya bersifat eksternal biasanya akan terdiri dari perusahaan kecil, dan strukturnya akan berkembang menjadi persaingan sempurna. Sebaliknya, jika skala ekonomis internal memberikan perusahaan- perusahaan berukuran besar suatu keunggulan biaya atas perusahaan - perusahaan kecil, maka hal ini pada akhirnya dapat menciptakan struktur pasar persaingan tidak sempurna.
            Penelitian-penelitian yang terbaru mengenai peranan skala ekonomis dalam perdagangan internasional ternyata  menemukan dua alasan yaitu pertama, skala ekonomis internal lebih mudah di identifikasikan dalam praktek dibandingkan dengan skala ekonomi eksternal. Alasan kedua, penelitian tersebut kebanyakan memusatkan perhatiannya pada skala ekonomis internal adalah, karena perkembangan perdagangan internal yang timbul dari model-model perdagangan dengan skala ekonomis internal yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini lebih sederhana dan mudah di pahami apabila dibandingkan dengan perkembangan yang muncul dari model-model yang bertumpu pada skala ekonomis eksternal.
            Konsep skala hasil meningkat mengacu pada situasi produksi dimana output bertambah lebih proporsional ketimbang peningkatan input atau fakto-faktor produksinya. Artinya, seandainya semua input di lipatdua kan, maka output akan bertambah lebih dua kali lipat. Demikian pula jika semua input di tambah hingga tiga kali lipat dari pada sebelumnya, maka outputnyapun akan bertambah lebih tiga kali lipat. Skala hasil yang meningkat ini dapat terjadi karena operasi yang lebih besar cenderung meningkatkan pembagian kerja dan spesialisasi sehingga setiap unit faktor produksi akan membuahkan hasil yang lebih besar.
 

Penjelasan gambar 6-1
            Ada beberapa aspek dari analisis mengenai gambar 6-1 yang harus dijelaskan lebih jauh. Pertama, tidak ada faktor penyebab yang pasti untuk mendorong kedua negara itu berspesialisasi dalam produksi komoditi X maupun komoditi Y. Kedua, meskipun dikatakan identik, kedua negara tersebut tidak mungkin sama persis dalam semua aspek ekonominya. Ketiga, jika skala ekonomis itu terdapat pada berbagai tingkatan output, maka satu atau beberapa perusahaan di masing-masing negara lambat laun akan dapat menguasai seluruh pasar bagi produk tertentu sehingga menjurus pada terciptanya monopoli atau oligopoli.
            Jadi, skala ekonomis atau skala hasil yang meningkat tersebut merupakan sesuatu yang bersifat internal dalam perusahaan.
            Konsep lain yang cukup penting dan berkaitan dengan skala ekonomis adalah hipotesis yang dikemukakan oleh Linder pada tahun 1961, yang pada intinya menyatakan bahwa suatu negara mengekspor produk produk manufaktur yang di dukung oleh pasar domestik yang cukup besar. Menurut hipotesis  “ kemiripan prefensi ”atau dapat pula disebut sebagai hipotesis“ permintaan yang tumpang tindih “ tersebut,  perkembangan manufaktur cenderung terjadi di kalangan negara-negara yang selera dan tingkat pendapatannya setara.
6.4     Konsep Persaingan Tidak Sempuma dan Perdagangan Intemasional.
Pada bagian pembahasan ini kita akan menelaah hubungan yang sangat penting antara persaingan tidak Sempurna dan perdagangan internasional. Dalam sebuah perekonomian atau pasar persaingan sempurna, perusahan-perusahaan yang ada tidak bisa mempengaruhi harga (price-taker). Artinya penjual barang harus selalu menerima kenyataan bahwa mereka dapat menjual sebanyak mungkin yang mereka kehendaki asalkan berdasarkan pada harga yang berlaku, dan mereka sama sekali tidak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima atas produk yang mereka jual.  Akan tetapi, jika hanya sedikit sekali perusahaan yang menghasilkan suatu barang, maka masalahnya pun menjadi sangat berbeda. Pada Perusahaan monopolis biasanya menghadapi kurva permintaan yang bentuknya melengkung ke bawah dari kiri atas ke kanan bawah. Bentuk kurva permintaan demikian menunjukkan bahwa perusahaan tersebut bisa menghasilkan lebih banyak output hanya jika harganya turun. Seperti yang telah kita ketahui dari teori dasar mikroekonomi, pada kurva permintaan adalah kurva pendapatan atau kurva penerimaan marjinal (marginal revenue). Pendapatan marjinal adalah pendapatan tambahan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan. Pendapatan marjinal bagi perusahaan monopolis selalu lebih rendah dari harga  seluruh unit (jadi tidak hanya unit tambahannya saja). Karena itu bagi sebuah perusahaan  monopolis, kurva penerimaan marjinalnya selalu terletak di bawah kurva permintaan.  Seandainya bentuk kurvanya sangat datar, maka perusahaan monopolis tersebut akan dapat menjual satu unit tambahan dengan hanya menurunkan harga sedikit saja, dan banyak, sehingga pendapatan marjinal akan mendekati harga per unit. Di sisi lain, jika kurva permintaan berbentuk sangat curam, maka untuk menjual satu unit tambahan, perusahaan itu harus mengadakan penurunan harga secara tajam sehingga menyebabkan pendapatan marjinal semakin lebih rendah dari harga. Tingkat output yang memaksimumkan keuntungan perusahaan monopolis tercapai ketika pendapatan marjinal (pendapatan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan) sama dengan biaya marjinal (biaya ekstra yang diperlukan untuk memproduksi satu unit output tambahan tersebut). Secara grafis, hal tersebut merupakan titik perpotongan antara kurva biayamarjinal atau MC dan dengan kurva penerimaan marjinal atau MR. Harga yang diminta perusahaan pada suatu tingkat output tertentu yakni yang menjamin tercapainya keuntungan maksimum biasanya lebih besar dari biaya rata-rata. Seandainya harga lebih besar daripada biaya rata-rata, maka perusahaan monopolis tersebut akan memperoleh sejumlah keuntungan monopolis (monopolistic profits). Adanya keuntungan monopoli jarang sekali terbebas dari aneka bentuk tentangan atau kecaman. Suatu perusahaan yang memperoleh keuntungan tinggi biasanya menciptakan sejumlah pesaing yang akan terus menentangnya. Karena itu keadaan monopoli murni jarang dijumpai dalam kenyataan. Struktur pasar yang lazim ditemui di berbagai sektor industri yang dicirikan oleh skala ekonomis internal adalah struktur oligopoli: yakni keberadaan beberapa perusahaan dominan, masing-masing dari mereka cukup besar untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada satu pun yang mampu meraih status sebagai monopolis yang tidak memiliki saingan ! sama sekali. Dalam model-model persaingan monopolistik (monopolistic competition) kita bertumpu  pada dua asumsi di seputar persoalan saling ketergantungan (interdependensi). Asumsi yang pertama, setiap perusahaan dianggap mampu membedakan produknya dari produk-produk saingannya. Artinya, para konsumen tidak akan langsung berbondong-bondong membeli produk produk perusahaan lain hanya karena sedikit selisih harga. Adanya perbedaan dan penganekaragaman produk (product differentiation) satu jenis produk dibuat sedemikian rupa sehingga masing-masing merek nampak unik dan berbeda dari yang lain- ini menjamin bahwa setiap perusahaan memiliki monopoli dalam produk khas di dalam suatu industri, atau punya pasar sendiri, sehingga mereka agak terisolasi dari tekanan persaingan. Sedangkan asumsi yang kedua, setiap perusahaan menganggap harga yang ditetapkan oleh para pesaingnya sebagai sesuatu yang tetap (given) -artinya ia mengabaikan dampak dari harga yang ditetapkannya terhadap harga perusahaan-perusahaan yang lain. Dengan demikian, model persaingan monopolistik ini mengasumsikan bahwa meskipun setiap perusahaan dalam prakteknya menghadapi tekanan persaingan dari perusahaan-perusahaan yang lain, namun ia cenderung bertindak sebagaunana layaknya sebuah perusahaan monopolis -karena itulah model ini disebut, sebagai model persaingan “monopolistik”. Akan tetapi sebelum kita dapat menelaah kaitannya dengan perdagangan, kita perlu mengembangkan suatu model dasar dari persaingan monopolistik. Untuk itu mari kita bayangkan suatu industri yang dihuni oleh beberapa perusahaan yang saling bersaing. Perusahaan-perusahaan ini menghasilkan produk-produk yang berbeda artinya, barang barang yang tidak persis sama, namun bisa merupakan pengganti (substitusi) satu sama lain. Karena itu setiap perusahaan sampai batas tertentu merupakan monopolis dalam artian ia merupakan satu-satunya perusahaan yang menghasilkan jenis barang tertentu. Tetapi permintaan untuk barang tersebut juga ditentukan oleh jumlah produk lain yang mirip yang tersedia di pasar dan oleh harga barang-barang yang dihasilkan perusahaan-perusahaan lain di sektor industri yang sama. Semakin banyak perusahaan yang ada, akan semakin tajam persaingan di antara perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga sebagai akibatnya mereka menetapkan harga yang lebih rendah lagi. Model persaingan monopolistik juga mampu menangkap elemen-elemen pokok tertentu dari suatu pasar yang mengandung skala ekonomi dan karenanya merupakan pasar persaingan tidak sempurna. Namun, hanya sedikit industri yang tergambarkan dengan baik oleh persaingan monopolistik; sedangkan kebanyakan struktur pasar yang ada di dalam kenyataan adalah struktur oligopoli dengan sejumlah kecil perusahaan saja yang secara aktif terlibat dalam persaingan monopolistik. Dalam struktur yang sesungguhnya, anggapan bahwa masing-masing perusahaan itu akan berperilaku seolah-olah ia merupakan monopolis tulen, mungkin tak berlaku lagi. Sebaliknya mereka biasanya sadar sepenuhnya bahwasanya tindakan-tindakan mereka akan mempengaruhi tindakan-tindakan perusahaan lain, dan mereka akan senantiasa memperhitungkan kemungkinan dan risiko interdependensi ini. Ada dua perilaku penting yang acapkali muncul dalam keadaan oligopoli yang seringkali tidak diperhitungkan dalam model persaingan sempurna. Pertama adalah perilaku persekongkolan (collusive behavior). Setiap perusahaan senantiasa mungkin tergoda (dan kenyataannya memang sering terjadi) untuk menetapkan harga lebih tinggi daripada tingkat harga yang bisa menjamin keuntungan maksimum, sebagai bagian dari suatu kesepakatan bahwa perusahaan-perusahaan lain akan bertindak serupa; karena setiap keuntungan perusahaan akan lebih tinggi jika pesaing-pesaingnya menetapkan harga tinggi, kesepakatan demikian dapat meningkatkan keuntungan semua perusahaan (atas beban konsumen) secara sekaligus. Perilaku penentuan harga dengan kesepakatan seperti ini bisa diatur melalui kesepakatan terang-terangan (dilarang di Amerika Serikat), atau dengan strategi yang dikoordinasikan secara sembunyi¬sembunyi, seperti rekayasa agar satu perusahaan tertentu bertindak sebagai pemandu harga bagi sektor industri yang bersangkutan secara keseluruhan. Perusahaan perusahaan oligopolistik juga menempuh perilaku “strategis” yakni, mereka bisa melakukan sesuatu yang tampaknya mengurangi keuntungan, akan tetapi sebetulnya dimaksudkan mempengaruhi perilaku pesaing-pesaing sedemikian rupa persis seperti yang diinginkannya, sehingga akan memberinya keuntungan lebih besar dalam jangka panjang. Sebagai contoh, suatu perusahaan mungkin membangun kapasitas tambahan, bukan untuk meningkatkan produksi, melainkan sekedar untuk menghalangi masuknya perusahaan perusahaan baru yang berpotensi untuk menjadi saingan ke dalam sektor industri oligopolistik itu. Selalu terbukanya kemungkinan bagi adanya tindakan persekongkolan maupun rekayasa “strategis” di antara perusahaan-perusahaan oligopolistik ini membuat analisis mengenai oligopoli menjadi tambah rumit.
6.4a     Perdagangan Berdasarkan Diferensiasi Produk
Hampir semua perekonomian modern di berbagai negara tidak lagi menghasilkan produk-produk homogen, melainkan aneka produk yang satu sama lain sangat bervariasi. Bahkan untuk satu jenis produk pun variasi tetap dapat dilakukan. Pada dasarya ada empat hal terpenting yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pola perdagangan ini, yakni sebagai berikut: 1) Perdagangan antar-industri lebih didasarkan pada keunggulan komparatif. Pola perdagangan antar-industri itu adalah sebagai berikut: Negara yang kaya akan modal merupakan pengekspor barang-barang manufaktur yang memang bersifat padat modal dan pengimpor neo makanan yang padat karya. Itu berarti keunggulan komparatif menempati kedudukan yang sangat penting dalam jenis perdagangan ini. Inilah sesungguhnya yang menjadi intisari teori perdagangan Heckscher-Ohlin. 2) Sedangkan hubungan perdagangan intra-industri ternyata tidak terlalu didasarkan pada konsep keunggulan / keunggulan komparatif. Walaupun negara-negara yang berdagang memiliki nisbah atau rasio modal tenaga kerja keseluruhan yang sama, perusahaan¬perusahaan mereka akan tetap menghasilkan produk-produk yang berbeda, (Ian permintaaan konsumen akan produk produk yang dibuat di luar negeri akan tetap ada sehingga selalu menimbulkan perdagangan intra-industri. Adalah skala ekonomis yang menyebabkan setiap negara tidak memproduksi semua jenis produk sendirian; dengan demikian skala ekonomis dapat merupakan sumber perdagangan internasional yang independen, khususnya bagi hubungan perdagangan intra-industri. 3) Pola perdagangan intra-industri itu sendiri tidak dapat diduga sebelumnya. Kita sama  sekali belum dapat menyebutkan secara pasti negara mana yang menghasilkan barang manufaktur jenis apa di dalam sektor manufaktur, dikarenakan model ini tidak dapat menerangkan kepada kita mengenai hal tersebut. Yang kita ketahui hanyalah bahwa negara-negara tersebut akan sama-sama memproduksi produk-produk manufaktur, hanya saja masing-masing produk sengaja dibuat nampak berbeda. Karena unsur-unsur sejarah dan peristiwa yang bersifat kebetulan acapkali menentukan arah dan pola perdagangan yang berlangsung, maka unsur ketidaktentuan pola perdagangan merupakan karakteristik yang penting bagi perdagangan intra-industri. 4) Arti penting relatif perdagangan intra-industri dan perdagangan antar-industri bergantung pada seberapa jauh kesamaan kelimpahan faktor produksi di negara-negara yang terlibat dalam perdagangan itu sendiri.
Pada dasarnya perdagangan intra-industri tersebut bertolak dari motif untuk meraih keuntungan yang bersumber dari skala ekonomis produksi. Maksudnya, persaingan internasional mendorong setiap perusahaan atau pabrik untuk membatasi model atau tipe produknya agar ia dapat mengerahkan segenap sumber dayanya demi menghasilkan beberapa jenis produk saja namun dengan kualitas terbaik dan harga yang bersaing. Sementara itu kebutuhan konsumen atas gaya atau model yang lain akan diimpor dari negara lain. Hubungan perdagangan intra-industri ini akan menguntungkan konsumen karena terciptanya lebih banyak pilihan dengan kualitas yang lebih baik, sedangkan harganya pun akan menjadi lebih murah berkat meningkatnya skala ekonomis produksi. Dari waktu ke waktu, negara-negara industri maju tersebut semakin banyak memiliki kesamaan  dalam tingkat teknologi produksi, serta dalam kepemilikan modal dan tingkat kualitas para pekerjanya. Karena negara-negara yang mendominasi perdagangan dunia itu semakin mirip dalam penguasaan teknologi dan kepemilikan sumber-sumber daya, maka keunggulan komparatif di dalam suatu sektor industri menjadi tidak begitu jelas (untuk negara mana), dan oleh karena itulah kegiatan perdagangan internasional di antara sesama negara industri mau lebih banyak : yang terwujud berupa pertukaran du a arah di dalam industri-industri yang sama -mungkin dalam banyak aspek, hal ini dipacu oleh usaha pencapaian skala ekonomis ketimbang spesialisasi antar-industri yang bertumpu pada keunggulan komparatif. Akan tetapi atas dasar fakta apa kegiatan perdagangan intra-industri itu dapat mengubah kesimpulan-kesimpulan yang telah kita peroleh sebelumnya? Pertama-tama, terciptanya hubungan perdagangan intra-industri menghasilkan keuntungan-keuntungan tambahan dari perdagangan internasional, yang nilainya lebih besar daripada yang dapat dihasilkan oleh perdagangan yang didasarkan pada keunggulan komparatif. Hal ini dikarenakan kegiatan perdagangan intra-industri tersebut mampu menciptakan pasar yang lebih besar. Sebagaimana yang telah kita pelajari, dengan melibatkan diri dalam hubungan perdagangan intra-industri, maka suatu negara secara serentak dapat mengurangi jenis-jenis produk yang dihasilkannya dan meningkatkan keanekaragaman barang yang tersedia bagi konsumen domestik. Dengan memproduksi lebih sedikit ragam barang, masing-masing negara dapat  memproduksi setiap barang dengan skala yang lebih besar, dengan produktivitas yang lebih tinggi dan dengan biaya produksi yang lebih rendah. Pada saat yang sama, konsumen juga beruntung karena barang yang tersedia lebih beragam dan lebih murah. Konsumen domestik akan menjumpai bahwa perdagangan intra-industri bisa memperluas pilihan-pilihan mereka, meningkatkan kualitas produk, dan juga menurunkan harga. Dalam analisis kita terdahulu mengenai distribusi keuntungan perdagangan, ada nuansa pesimisme terhadap kemungkinan bahwa setiap orang akan memperoleh keuntungan dari berlangsungnya perdagangan internasional. Dalam model-model yang telah kita bahas sebelumnya, dampak-dampak perdagangan terjadi melalui perubahan harga-harga relatif, dan berbagai perubahan pada harga-harga relatif ini berpengaruh sangat kuat terhadap distribusi pendapatan. Hal ini memang akan terjadi apabila: 1) Negara-negara yang berdagang sedikit banyak mempunyai kesamaan faktor-faktor produksi sehingga kadar perdagangan antar-industri di antara mereka akan berkurang, dan digantikan oleh perdagangan intra-industri.2) Skala ekonomis dan diferensiasi produk menjadi faktor penting, sehingga keuntungan, dari skala yang membesar dart semakin banyaknya pilihan terhitung besar. Dalam keadaan demikian, dampak perdagangan intemasional terhadap distribusi pendapatan akan menjadi lebih kecil dan akan banyak keuntungan tambahan yang dibuahkan oleh adanya; perdagangan intra-industri. Walaupun berpengaruh pada distribusi pendapatan, namun hasil perdagangan tersebut begitu besar sehingga akan membuat semua orang akan tetap memperoleh keuntungan (walaupun besar-kecilnya keuntungan untuk setiap orang berbeda- beda. Ada beberapa pertimbangan penting yang harus dikemukakan berkenaan dengan model-model perdagangan intra-industri yang dikembangkan oleh sejumlah ekonom terkemuka Helpman, Krugman, Lancaster, dan beberapa tokoh lainya sejak tahun 1979. Pertama, perdagangan dalam model Heckscher-Ohlin didasarkan pada keunggulan komparatif atau perbedaan dalam kelimpahan faktor produksi (tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan teknologi produksi) di antara negara-negara yang terlibat dalam hubungan  dagang itu. Akan tetapi dalam prakteknya, perdagangan intra-industri itu lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan skala ekonomis. jadi, kalau volume perdagangan yang didasarkan ada keunggulan komparatif akan lebih besar seandainya perbedaan dalam kelimpahan faktor  di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya lebih besar, maka transaksi perdagangan intra-industri itu akan meningkat jika ukuran perekonomian dan praporsi faktor produksi yang ada (di kalangan negara negara industri) lebih mirip satu sama lain. Di sini kita melihat satu hal yang kontras. Elemen-elemen yang cenderung membatasi perdagangan biasa (antar-industri), ternyata justru mendorong perdagangan intra-industri. Kedua, semakin banyak produk-produk yang terdiferensiasi berkat meningkatnya akal, ekonomis, maka harga-harga relatif sebelum terjadinya perdagangan tidak akurat lagi dalam memprediksikan pola perdagangan yang akan terjadi. Secara spesifik, sebuah negara besar  akan dapat memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang lebih murah dibandingkan negara lain yang lebih kecil (dalam kondisi tanpa perdagangan) karena negara besar tersebut merniliki A skala ekonomis yang lebih besar pula. Namun setelah perdagangan itu terjadi, setiap negara dapat memanfaatkan peluang peningkatan skala ekonomis yang sama besarnya (karena semua pasar melebur menjadi satu) sehingga negara yang kecil itu pun bisa saja melakukan produksi  secara lebih efisien sehingga ia mampu menjual produk dengan harga lebih murah ketimbang negara besar yang menjadi mitra dagangnya. Ketiga, tidak seperti model Heckscher-Ohlin yang memprediksikan bahwa perdaganganq akan menurunkan tingkat hasil bagi faktor produksi yang langka, maka berlangsungnya perdagangan intra-industri yang didasarkan pada peningkatan skala ekonomis itu dapat meningkatkan pendapatan atau harga semua faktor produksi yang terkait. Hal ini nampaknya dapat menjelaskan mengapa pembentukan Uni Eropa dan proses liberalisasi perdagangan internasional yang berlangsung secara besar-besaran sejak Perang Dunia kedua, khususnya dalam produk-produk manufaktur itu, tidak memperoleh hambatan yang berarti dari kelompok I kelompok kepentingan/politik yang ada di masing-masing negara. Hal tersebut rnengisyaratkan bahwa perdagangan intra-industri memang dapat meningkatkan pendapatan bagi semua pemilik faktor produksi, sehingga tidak perlu ada pihak yang harus merasa dirugikan. Sebaliknya, liberalisasi perdagangan antar-industri yang biasanya berlangsung antara negara maju dan negara berkembang, banyak mendapat tentangan, khususnya dari serikat-serikat buruh terorganisir di negara-negara maju yang merasa khawatir bahwa peningkatan perdagangan antar-industri tersebut akan merugikan mereka (menurunkan tingkat upah, atau melenyapkan lapangan kerja). Secara teoritis hal itu memang dapat dibuktikan. Peningkatan perdagangan antar-industri, khususnya dalam produk-produk manufaktur, cenderung menurunkan tingkato upah bagi para pekerja yang ada di negara-negara maju. Jika perdagangan itu terus diliberalisasikan, maka bukan hanya para pekerja itu saja yang kehilangan pekerjaan, namun sektor-sektor industri tertentu di negara maju tidak akan dapat bersaing dengan produk imporf dari negara berkembang sehingga mereka pun terancam bangkrut. Yang terakhir, perdagangan intra-industri nampaknya berkaitan erat dengan lonjakan perdagangan internasional untuk suku cadang dan aneka komponen dari sebuah produk Artinya, yang diperdagangkan bukan produk yang siap pakai, melainkan elemen-elemen atau komponennya yang harus dirakit atau diolah lebih lanjut sehingga menghasilkan produk jadi yang siap pakai. Kecenderungan itu juga bersesuaian dengan meningkatnya peran perusahaan- perusahaan multinasional. Perusahaan internasional seperti itu biasanya mengadakan kegiatan-kegiatan produksi tidak di satu tempat saja. Mereka membuat komponen tertentu di suatu negara, sedangkan komponen lain ia buat di negara-negara lain. Semua ini dilakukan. Dalam rangka meminimalkan biaya produksi. Sebagai contoh, mesin untuk mobil-mobil Ford Fiestas dibuat di Inggris, sistem transmisinya dibuat di Perancis, komponen-komponen penunjangnya di buat di Spanyol, dan semuanya akan dirakit di Jerman. Hal yang sama juga terjadi dalam kamera-kamera buatan Jerman yang acapkali dirakit di Singapura atau negara lain yang tenaga kerja yang lebih murah. Pemanfaatan keunggulan komparatif di banyak negara secara sekaligus seperti itu dalam rangka meminimalkan total biaya produksi dapat pula dipandang sebagai perluasan dari model dasar Heckscher-Ohlin terhadap kondisi-kondisi produksi moderen. Pola produksi dan perdagangan seperti itu juga memunculkan sejumlah besar lapangan kerja di negara-negara berkembang. Kesimpulan sementara yang dapat kita tarik di sini adalah bahwa faktor penyebab utama bagi berlangsungnya perdagangan antar - industri adalah keunggulan komparatif, sedangkan perdagangan intra - industri lebih bertumpu pada skala ekonomis yang ditunjang oleh diferensiasi produk. Kedua jenis perdagangan ini berlangsung dalam waktu bersamaan. Semakin berlainan kelimpahan faktor produksi (seperti antara negara berkembang dan negara maju) antara dua negara yang berdagang, akan semakin penting konsep keunggulan komparatif bagi mereka dan akan semakin besar pula volume perdagangan antar-industri yang terjadi di antaranya. Di lain pihak, semakin mirip kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat perdagangan, maka akan semakin penting konsep peningkatan skala ekonomis dan diferensiasi produk bagi mereka, mengingat sebagian besar perdagangan yang akan terjadi di negara-negara tersebut so adalah perdagangan intra-industri. Kesimpulan ini nampaknya didukung dengan kenyataan yang ada. Sebagian besar perdagangan di antara sesama negara maju ternyata adalah perdagangan intra-industri. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa konsep keunggulan komparatif tidak relevan untuk memahami berlangsungnya perdagangan intra-industri. Sebagaimana dikemukakan oleh Lancaster dari penelitiannya (1980), sekalipun perdagangan yang berlangsung di antara negara-negara tertentu adalah perdagangan intra-industri, industri, hal itu tetap berpijak pada keunggulan jkeunggulan komparatif. Oleh sebab itu, mungkin akan lebih tepat jika kita mengatakan kalau perdagangan antar-industri mencerminkan keunggulan komparatif alamiah di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya, sedangkan perdagangan intra-industri lebih didasarkan pada keunggulan komparatif buatan (sesuatu yang dicapai melalui upaya atau rekayasa manusia secara sengaja).

6.4b     Perhitungan Atas Perdagangan Intra-Industri.

 Pada dasamya, besar kecilnya atau tingkatan atau volume perdagangan intra-industri dapat diukur atau dihitung berdasarkan indeks perdagangan intra-industri (intra-industry trade index) yang diberi simbol T. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: T = 1 - X dan M masing-masing melambangkan nilai ekspor dan impor dari suatu industri atau kelompok komoditi tertentu, sedangkan garis-garis vertikal pada pembilang di dalam Rumus (6-1) menunjukkan bahwa nilai-nilai yang “dipagarinya” adalah angka-angka absolut (senantiasa positif). Nilai T atau indeks perdagangan intra-industri itu sendiri bervariasi; yakni dari 0 hingga 1. T akan sama dengan 0 apabila sebuah negara hanya mengekspor atau hanya mengimpor suatu produk (artinya dia tidak terlibat dalam perdagangan intra-industri yang bersifat dua arah itu). Di lain pihak jika ekspor dan impornya sama besar, maka untuk Negara itu T = 1 (perdagangan intra-industri yang dilangsungkannya mencapai tingkatan maksimal). Namun ternyata ada kelemahan serius dalam penggunaan indeks T untuk mengukur tingkatan perdagangan intra-industri. Nilai-nilai T yang muncul acapkali lebih dari satu, dan satu sama lain berbeda sehingga kita sulit menentukan mana T yang paling tepat. Hasill perhitungannya juga mudah berubah kalau kita sedikit saja menggeser cakupan industri atau kelompok produk yang menjadi objek perhitungan. Secara lebih spesifik bisa dikatakan bahwa semakin luas cakupan dari suatu sektor industri, maka akan semakin besar nilai T. Alasannya adalah, semakin luas cakupan sektor industri tersebut, maka akan semakin besar kemungkinan negara yang bersangkutan akan mengekspor produk-produk terdiferensiasi dalam varietas atau jenis yang lebih banyak. Oleh sebab itu, penggunaan indeks T harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengakibatkan salah tafsir. Di satu sisi indikator tersebut memang dapat sangat berguna dalam mengukur jangkauan atau tingkatan perdagangan intra-industri yang dilakukan oleh masing-masing negara industri maju serta jangkauan dari sektor-sektor industrinya yangi terlibat, dan cukup bisa diandalkan pula guna menaksir berbagai perubahan dalam perdagangan intra-industri tersebut untuk sektor industri yang sama dari waktu ke waktu. Di sisi lain, kita harus konsisten dalam menentukan cakupan suatu sektor industri agar nilai-nilai T yang muncul memiliki cakupan yang sama, sehingga hasil-hasil perhitungannya dapat saling diperbandingkan.
6.4c  Model Formal Perdagangan Intra-Industri
Gambar 6-2 berikut ini menyajikan sebuah model formal mengenai perdagangan intra-industri. Dalam gambar tersebut, D melambangkan kurva permintaan yang dihadapi oleh sebuah perusahaan penjual produk-produk yang terdiferensiasi. Karena banyak perusahaan lain yang menjual produk-produk yang mirip, maka kurva permintaan yang dihadapi oleh perusahaan tersebut bersifat cukup elastis (kemiringan atau kecondongan D relatif kecil).  Itu berarti, perubahan harga yang kecil saja, sudah dapat menimbulkan perubahan yang besar dalam volume penjualan perusahaan tersebut. Bentuk atau organisasi pasar yang memiliki banyak perusahaan yang semuanya menjual berbagai produk yang mirip satu sama lain (semuanya terdiferensiasi) dan akses keluar masuk perusahaan-perusahaan baru ke dalam sektor atau pasar tersebut tidak terlampau sulit, biasa disebut sebagai pasar atau ekonomi persaingan monopolistik (monopolistic cotltpetition nutrket/econonty). Karena setiap perusahaan yang ada di Opasar itu harus menurunkan harga untuk semua unit komoditinya apabila ia ingin meningkatkan penjualan, maka kurva pendapatan marginal perusahaan tersebut (MR) lebih rendah ketimbang kurva permintaannya (D), sehingga MR lebih kecil dari P. Sebagai contoh, D memperlihatkan bahwa perusahaan itu dapat menjual produknya sebanyak dua unit berdasarkan P = 4,50 dolar sehingga ia akan mendapatkan total .pendapatan sebanyak 9 dolar. Atau, ia bisa menjual tiga unit namun atas dasar harga P = 4 dolar sehingga total pemasukan yang diperolehnya adalah 112 dolar. Dengan demikian, perubahan dalam total pendapatan atau MR = 3 dolar, mengiringi perubahan harga untuk unit ketiga dari komoditi yang dijual itu,. yakni P = 4 dolar.


D adalah kurva pemintaan untuk produk yang dijual oleh sebuah perusahaan, sedangkan MR adalah kurva pendapatan marginalnya. D mengarah ke bawah karena produk itu terdiferensiasi. Sebagai akibatnya MR lebih kecil daripada P. Tingkat output yang terbaik, atau yang paling menguntungkan, bagi perusahaan yang bersifat kompetitif monopolistik tersebut adalah tiga unit, dan hal itu dilambangkan oleh titik E, di mana MR sama dengan MC. Pada output atau Q = 3, maka harga yang ber{aku adalah P = AC = 14 (titik A) dan pada titik tersebut perusahaan tadi mengalami titik impas jumlah yang diperolehnya persis sama dengan jumlah yang telah dikeluarkannya sebagai biaya-biaya produksi dan investasi. AC adalah kurva biaya rata-rata bagi perusahaan tersebut. AC ini mengarah ke bawah karena berlakunya prinsip skala ekonomis (economics of scale).

6.5 Perdagangan yang Didasarkan pada Perbedaan Teknologi Dinamis dan Sintesis Teori-teori Perdagangan.

Terlepas dari perbadaan-perbedaan dalam ketersediaan relatif aneka sumber daya atau factor produksi seperti tenaga kerja , modal dan sumber daya alam         ( yang sangat di tekankan oleh teori Heckscher-Ohlin ) serta adanya skala ekonomis dan difrensiasi produk, perubahan-perubahan dinamis dalam teknologi jaga dapat menjadi factor pendorong tersendiri dalam memunculkan perdagangan internasional.

6.5a Model Kesenjangan Teknologi dan Model Siklus Produk
Model kesenjangan teknologi ( technological gap model ) untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Posner pada tahun 1961. Menurut teori ini, sejumlah besar perdagangan di antara Negara-negara industri maju ternyata di dasarkan pada munculnya produk-produk baru oleh proses-proses produksi ( teknologi ) yang baru. Adanya proses produksi dan produk baru itulah yang sering kali memberikan kedudukan monopoli yang bersifat sementara bagi perusahaan-perusahaan atau negara tertentu di pasaran internasional. Kedudukan monopoli sementara ( temporary monopoly ) itu sendiri di dasarkan pada hak paten atau hak cipta yang memberi keistimewaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan apa yang di lindungi oleh hak paten itu secara ekslusif.
Namun model ini pun di liputi kelemahan yakni ia tidak dapat menjelaskan berapa besar kecilnya kesenjangan teknologi atau sebab-sebabnya. Di samping itu,model tersebut juga tidak mengungkapkan alas an munculnya kesenjangan teknologi itu sendiri atau latar belakang proses pengerjaran teknologi oleh pihak, produsen, atau negara-negara tertentu yang semula tertinggal.
Kelemahan-kelemahan itu selanjutnya memunculkan suatu genelisasi dan pengembangan lanjutan atas model kesenjangan teknologi yang selanjutnya terkenal dengan nama model siklus produk ( product cycle ). Model ini untuk pertama kalinya di rumuskan oleh Raymond Vernon pada tahun 1966. Menurut model ini, pada tahap awal penciptaan sebuah produk dan pengenalan ke pasar, biasa prose produksinya mensyaratkan tenaga kerja terampil.
Vernon juga mengemukan bahwa produk-produk yang bernilai tinggi dan menghemat tenaga kerja cenderung akan di pilih sebagai produk andalan ekspor di negara-negara industri yang kaya. Hal itu dikarenakan:
1.      Peluang terbesar untuk menciptakan produk-produk seperti itu memang ada di Negara-negara indutri maju yang banyak memiliuki faktor produksi modal yang merupakan input utama bagi produk-produk bernilai tinggi.
2.      Pengembangan produk-produk baru seperti itu membutuhkan kemiripan pasar atau kesesuaian pasar ( proximity ), sehingga dapat diharapkan munculnya umpan balik dari konsumen dalam rangka proses modifikasi dan menyempurnakan produk yang bersangkutan.
3.      Kebutuhan akan pelayanan dalam proses pengenalan dan kegiatan-kegiatan purna jual memang paling dimungkinkan di Negara-negara maju tadi. Kalau model kesenjangan teknologi menekankan pada perbedaan waktu dalam proses peniruan atau imitasi, maka model siklus produk lebih menekankan pada pentingnya proses standarisasi. Namun kedua model ini sama-sama berpendapat bahwa Negara-negara industri yang paling maju cenderung mengekspor aneka produk non standar yang mengandung tekonologi paling maju, dan di lain pihak akan mengimpor produk-produk standar yang diproduksi bias secara masal dan kandungan teknologinya lebih kecil ( ini akan dibuat di negara berkembang ).



6.5b Ilustrasi Model Siklus Produk
Model siklus produk dapat divisualisasikan dalam 5 tahapan:
Pada tahap I ( rentang waktu OA ), sebuah produk baru mulai diperkenalkan dan baru dikonsumsi oleh penduduk di negara asal inovasinya ( negara penemu ).
Kemudian pada tahap II ( rentang waktu AB ), proses produksinya disempurnakan di Negara asal inovasi guna meningkatkan output dalam rangka memenuhi lonjakan permintaan di pasar domestic dan luar negeri. Pada tahap III ( BC ), produk itu menjadi standar dan sudah dibuat secara masal, sehingga Negara peniru mulai dapat memproduksinya untuk keperluan konsumsi domestik.
Pada tahap IV ( CD ), Negara peniru mulai dapat menjual produk itu ke pasar internasional dengan harga yang lebih murah.
Kemudian pada tahap V ( titik D ), output produk baru di Negara asal inovasi mulai turun, sedangkan output di negara-negara peniru justru bertambah. Sejak saat itu keuntungan komparatif dari produk tersebut berpindah tangan dari negara penemu ke negara peniru.

6.5c Sintesis Teori-teori Perdagangan
Kesimpulan – kesimpulan yang dapat kita tarik berkenaan dengan relevansi empiris atas teori-teori perdagangan yang telah kita bicarakan di atas, adalah sebagai berikut :
1.      Sebagian besar perdagangan antara Negara maju dan berkembang adalh perdagangan antar industri yang didasarkan pada variasi atau perbedaan kelimpahan factor ( termasuk pula teknologi ), sebagaimana dipostulasikan atau dirumuskan oleh teori Heckscher-Ohlin.
2.      Perdagangan antara sesame Negara industry maju semakain lama semakin banyak yang berupa perdagangan intra-industri yang didasarkan pada skala ekonomis dan diferensiasi produk, sebagaimana yang dirumuskan oleh teori-teori perdagangan yang baru.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa teori Heckscher-Ohlin dan teori-teori perdagangan yang baru itu sesungguhnya bersifat komplementer atau saling mendukung dalam menjelaskan perdagangan internasional. Kesimpulan di atas membawa kita pada kesimpulan berikutnya, yakni semakin berbeda kelimpahan faktor antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan, maka semakin besar kemungkinan, bahwa mayoritas perdagangan itu merupakan perdagangan antar industri. Demikian pula sebaliknya, semakin mirip kelimpahan faktor di antara negara-negara yang terlibat dalam perdagangan maka semakin besar kemungkinan bahwa itu merupakan perdagangan intra-industri.
Jelaslah pula bahwa pemakaian masing-masing model industry itu harus dibedakan kasus perkasus. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui kapan masing – masing model atau teori tersebut dapat diterapkan. Yakni :
1.      Model kelimpahan faktor Heckscher-Ohlin harus diterapkan demi menjelaskan berlangsungnya perdagangan untuk komoditi primer, bahan – bahan mentah, aneka produk pertanian dan berbagi produk manufaktur yang bersifat padat karya pada umumnya.
2.      Teori-teori baru mengenai perdagangan yang didasarkan pada skala ekonomis dan diferensiasi produk harus dikedepankan untuk menjelaskan berlangsungnya perdagangan intra-industri yang biasanya meliputi aneka produk manufaktur padat modal dan berteknologi tinggi. Meskipun kita masih memerlukan pengujian empiris yang lebih banyak untuk membakukan generalisasi ini, secara umum kita sudah dapat menggunakan untuk memahami berbagai kasus perdagangan antar negara.

6.6     Biaya Transportasi, Standar Lingkungan, dan Perdagangan  Internasional

Biaya transportasi ternyata memberikan pengaruh langsung yang sangat besar terhadap perdagangan internasional, yakni dengan meningkatkan harga atau komoditi yang diperdagangkan, baik itu bagi negara pengekspor maupun bagi negara pengimpor. Disamping itu, biaya transportasi juga memberikan pengaruh tidak langsung terhadap lokasi penyelenggaraan produksi dan pusat-pusat industri secara internasional.

6.6a  Biaya Transportasi dan Komoditi-komoditi yang Tidak Diperdagangkan
Biaya transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan, premi asuransi, serta aneka pungutan pada saat komoditi yang diperdagangkan itu disimpan di suatu tempat sementara (transit). Jadi, kita menggunakan istilah biaya transportasi untuk mencakup semua jenis biaya pemindahan barang dari suatu tempat atau negara ke negara atau tempat lain. Perdagangan internasional juga bisa dibatasi oleh rasio atau nisbah berat produk terhadap nilai yang terlalu tinggi, seperti semen (artinya, produk yang bersangkutan sedemikian berat sehingga biaya transportasinya sangat mahal bila dibandingkan dengan nilainya sendiri). Itu sebabnya selama memang masing memungkinkan suatu negara biasa memproduksi semen sendiri ketimbang mengimpornya, sekalipun semen dapat diproduksi lebih murah di luar negeri). Banyak barang yang tidak diperdagangkan secara internasional karena tiadanya keunggulan efisien biaya operasional yang kuat dalam produksinya, atau karena biaya pengangkutannya yang terlampau mahal. Pada prinsipnya, suatu barang yang homogen akan diperdagangkan secara internasional hanya apabila selisih harga untuk barang tersebut di kedua negara lebih besar daripada biaya transportasi barang tersebut dari suatu negara ke negara yang lain. Adanya biaya transportasi itulah yang memunculkan sejumlah barang dan jasa yang tidak (menguntungkan kalau) diperdagangkan.
            Secara umum harga komoditi-komoditi yang tidak diperdagangkan secara internasional itu ditentukan oleh kondisi-kondisi permintaan dan penawaran domestik.
            Ada dua cara untuk menganalisis biaya transportasi :
  1. Analisis keseimbangan umum, yang menggunakan kurva batas-batas kemungkinan produksi atau kurva tawar-menawar suatu negara dan menyatakan biaya transportasi tersebut dalam satuan harga relatif komoditi.
  2. Analisis keseimbangan parsial, menganalisis biaya transportasi dalam satuan absolute (berupa jumlah uang).
Satu hal penting adalah pengertian istilah keseimbangan umum dan parsial dalam konteks ini sedikit berbeda dengan yang telah kita gunakan pada bagian-bagian pembahasan lainnya. Selain itu kita juga memakai asumsi tambahan. Asumsi-asumsi yang dipergunakan di sini adalah kurs antara dua mata uang dari negara-negara yang mengadakan perdagangan senantiasa konstan, tingkat pendapatan dari kedua belah pihak juga senantiasa konstan, demikian pula dengan indikator-indikator ekonomi lainnya kecuali tingkat konsumsi, produksi, dan perdagangan dari komoditi yang dipertukarkan anatara kedua negara tersebut.

6.6b  Biaya Transportasi dan Lokasi Industri
Biaya transportasi juga memperngaruhi arus perdagangan internasional secara tidak langsung, yakni melalui pengaruh yang ditimbulkannya terhadap pemilihan lokasi produksi dan pusat-pusat kegiatan industri. Secara umum, jenis industri bial dikaitkan dengan penentuan lokasinya bisa digolongkan menjadi tiga, yakni :
1)      Industri yang berorientasi pada sumber daya (resource oriented industries).
2)      Industri yang berorientasi pasar (market oriented industries).
3)      Industri yang bersifat lincah (footloose industries).
Secara umum, industri footloose cenderung berada pada tempat-tempat yang menyediakan berbagai input yang memungkinkan dilakukannya penghematan biaya manufaktur secara maksimal.

6.6c  Standar Lingkungan Hidup, Lokasi Industri, dan Perdagangan Internasional
Lokasi industri dan pola perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh aneka standar lingkungan hidup yang kini kian banyak. Standar lingkungan mengacu pada tingkat persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dalam mengelola pencemaran udara, polusi air, polusi thermal (panas) dan berbagai polusi lainnya yang bersumber dari limbah. Dalam kenyataannya, karena selama ini cara-cara yang paling murah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan produksi, konsumsi, atau pembuangan limbahnya, memang cenderung merusak atau setidaknya membahayakan kelestarian lingkungan hidup.
            Para ahli ilmu ekonomi lingkungan (environmental economist) sejak lama telah menyarankan digunakannya mekanisme pasar untuk mebatasi praktek-praktek polusi atau pencemaran lingkungan secara efisien.
            Industri-industri pembakit pencemaran lingkungan itu biasanya merupakan industri yang banyak menyerap sumber daya alam atau tenaga kerja, dank arena itu industri-industri tersebut cocok dengan kebutuhan pada tahap awal pembangunan ekonomi yang tengah dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang. Dalam kenyataannya seiring dengan kemajuan suatu negara, pencemaran lingkunga biasanya kian dapat ditekan karena kegiatan produksi pada umumnya semakin mampu dalam melangsungkan proses atau aktivitas produksi yang bersih dan bebas polusi.